I.
Pendahuluan
Ketika bayi dilahirkan, dia tidak tahu apa-apa
tentang diri dan lingkungannya. Walau begitu, bayi tersebut memiliki potensi
untuk mempelajari diri dan lingkungannya. Apa dan bagaimana dia belajar, banyak
sekali dipengaruhi oleh lingkungan sosial di mana dia dilahirkan. Kita bisa
berbahasa Indonesia karena lingkungan kita berbahasa Indonesia; kita makan
menggunakan sendok dan garpu, juga karena lingkungan kita melakukan hal yang
sama; Demikian pula apa yang kita makan, sangat ditentukan oleh lingkungan kita
masing-masing.
Sosialisasi adalah satu konsep
umum yang bisa dimaknakan sebagai sebuah proses di mana kita belajar melalui interaksi dengan orang lain, tentang cara
berpikir, merasakan, dan bertindak, di mana kesemuanya itu merupakan hal-hal
yang sangat penting dalam menghasilkan partisipasi sosial yang efektif.
Sosialisasi merupakan proses yang terus terjadi selama hidup kita.
II.
Tijauan teori
Sosialisasi adalah satu
konsep umum yang bisa dimaknakan sebagai sebuah proses di mana kita belajar
melalui interaksi dengan orang lain, tentang cara berpikir, merasakan, dan bertindak,
di mana kesemuanya itu merupakan hal-hal yang sangat penting dalam menghasilkan
partisipasi sosial yang efektif. Sosialisasi merupakan proses yang terus
terjadi selama hidup kita.
Jenis sosialisasi
Keluarga
sebagai perantara sosialisasi primer
Berdasarkan
jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga)
dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua
proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan
tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu
dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun
tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara
formal.- Sosialisasi primer
Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
- Sosialisasi sekunder
Tipe sosialisasi
Setiap kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda. contoh, standar 'apakah seseorang itu baik atau tidak' di sekolah dengan di kelompok sepermainan tentu berbeda. Di sekolah, misalnya, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada. Ada dua tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tersebut adalah sebagai berikut.- Formal
- Informal
Baik sosialisasi formal maupun sosialisasi informal tetap mengarah kepada pertumbuhan pribadi anak agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya. Dalam lingkungan formal seperti di sekolah, seorang siswa bergaul dengan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan guru dan karyawan sekolahnya. Dalam interaksi tersebut, ia mengalami proses sosialisasi. dengan adanya proses soialisasi tersebut, siswa akan disadarkan tentang peranan apa yang harus ia lakukan. Siswa juga diharapkan mempunyai kesadaran dalam dirinya untuk menilai dirinya sendiri. Misalnya, apakah saya ini termasuk anak yang baik dan disukai teman atau tidak? Apakah perliaku saya sudah pantas atau tidak?
Meskipun proses sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat suluit untuk dipisah-pisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.
Pola sosialisasi
Sosiologi dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga menjadi generalized other.Syarat terjadinya sosialisasi
Pada dasarnya,
sosialisasi memberikan dua kontribusi fundamental bagi kehidupan kita. Pertama, memberikan dasar atau fondasi kepada
individu bagi terciptanya partisipasi yang efektif dalam masyarakat, dan kedua memungkinkan lestarinya suatu
masyarakat – karena tanpa sosialisasi akan hanya ada satu generasi saja
sehingga kelestarian masyarakat akan sangat terganggu..Contohnya, masyarakat
Sunda, Jawa, Batak, dsb. akan lenyap manakala satu generasi tertentu tidak mensosialisasikan
nilai-nilai kesundaan, kejawaan, kebatakan kepada generasi berikutnya. Agar dua
hal tersebut dapat berlangsung maka ada beberapa kondisi yang harus ada agar
proses sosialisasi terjadi. Pertama adanya warisan biologikal, dan kedua adalah
adanya warisan sosial.
- Warisan dan Kematangan Biologikal .
Dibandingkan dengan
binatang, manusia secara biologis merupakan makhluk atau spesis yang lemah
karena tidak dilengkapi oleh banyak instink. Kelebihan manusia adalah adanya
potensi untuk belajar dari pengalaman-pengalaman hidupnya. Warisan biologis
yang merupakan kekuatan manusia, memungkinkan dia melakukan adaptasi pada
berbagai macam bentuk lingkungan. Hal inilah yang menyebabkan manusia bisa
memahami masyarakat yang senantiasa berubah, sehingga lalu dia mampu berfungsi
di dalamnya, menilainya, serta memodifikasikannya. Namun tidak semua manusia
mempunyai warisan biologis yang baik, sebab ada pula warisan biologis yang bisa
menghambat proses sosialisasi. Manusia yang dilahirkan dengan cacat pada
otaknya atau organ tubuh lainnya (buta, tuli/bisu, dsb.) akan mengalami kesulitan
dalam proses sosialisasi.
Proses sosialisasi
juga dipengaruhi oleh kematangan biologis (biological maturation), yang umumnya
berkembang seirama dengan usia biologis manusia itu sendiri. Misalnya, bayi
yang usianya empat minggu cenderung memerlukan kontak fisik, seperti ciuman,
sentuhan, pelukan. Begitu usianya enambelas minggu maka dia mulai bisa
membedakan muka orang lain.
dirinya, dan lalu mulai bisa tersenyum. Pada usia tiga bulan,
seorang bayi jangan diminta untuk berjalan atau pun berhitung, berpakaian, dan
pekerjaan lainnya. Semua itu akan sia-sia, menghabiskan waktu karena secara
biologis, bayi tersebut belum cukup matang. Dengan demikian warisan dan
kematangan biologis merupakan syarat pertama yang perlu diperhatikan dalam
proses sosialisasi.
2.
Lingkungan yang menunjang.
Sosialisasi juga menuntut adanya
lingkungan yang baik yang menunjang proses tersebut, di mana termasuk di
dalamnya interaksi sosial. Kasus di bawah ini dapat dijadikan satu contoh
tentang pentingnya lingkungan dalam proses sosialisasi. Susan Curtiss (1977)
menaruh minat pada kasus anak yang diisolasikan dari lingkungan sosialnya. Pada
tahun 1970 di California ada seorang anak berusia tigabelas tahun bernama Ginie
yang diisolasikan dalam sebuah kamar kecil oleh orang tuanya. Dia jarang sekali
diberi kesempatan berinteraksi dengan orang lain. Kejadian ini diketahui oleh
pekerja sosial dan kemudian Ginie dipindahkan ke rumah sakit, sedangkan orang
tuanya ditangkap dengan tuduhan melakukan penganiayaan dengan sengaja. Pada
saat akan diadili ternyata ayahnya bunuh diri.
Ketika awal berada di rumah sakit,
kondisi Ginie sangat buruk. Dia kekurangan gizi, dan tidak mampu
bersosialisasi. Setelah dilakukan pengujian atas kematangan mentalnya ternyata
mencapai skor seperti kematangan mental anak-anak berusia satu tahun. Para
psikolog, akhli bahasa, akhli syaraf di UCLA (Universitas California) merancang
satu program rehabilitasi mental Ginie. Empat tahun program tersebut berjalan
ternyata kemajuan mental Ginie kurang memuaskan. Para akhli tersebut heran
mengapa Ginie mengalami kesukaran dalam memahami prinsip tata bahasa, padahal
secara genetis tidak dijumpai cacat pada otaknya. Sejak dimasukan ke rumah
sakit sampai dengan usia dua puluh tahun, Ginie dilibatkan dalam lingkungan
yang sehat, yang menunjang proses sosialisasi. Hasilnya, lambat laun Ginie
mulai bisa berpartisipasi dengan lingkungan sekitarnya.
Penelitian lain dilakukan oleh Rene
Spitz (1945). Dia meneliti bayi-bayi yang ada di rumah yatim piatu yang
memperoleh nutrisi dan perawatan medis yang baik namun kurang memperoleh
perhatian personal. Ada enam perawat yang merawat empat puluh lima bayi berusia
di bawah delapan belas bulan. Hampir sepanjang hari, para bayi tersebut
berbaring di dalam kamar tidur tanpa ada “human-contact”.
Dapat dikatakan, bayi-bayi tersebut jarang sekali menangis, tertawa, dan
mencoba untuk bicara. Skor tes mental di tahun pertama sangat rendah, dan dua
tahun kemudian penelitian lanjutan dilakukan dan ditemukan di atas sepertiga
dari sembilan puluh satu anak-anak meninggal dunia. Dari apa yang ditemukannya,
Spitz menarik kesimpulan bahwa kondisi lingkungan fisik dan psikis seorang bayi
pada tahun pertama sangat mempengaruhi pembentukan mentalnya. Bayi pada saat
itu sangat memerlukan sentuhan-sentuhan yang memunculkan rasa aman –
kehangatan, dan hubungan yang dekat dengan manusia dewasa – sehingga bayi dapat
tumbuh secara normal di usia-usia
selanjutnya.
Agen sosialisasi
Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah.Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, meminum minman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), tetapi mereka dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa.
Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.
- Keluarga (kinship)
- Teman pergaulan
Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan.
- Lembaga pendidikan formal (sekolah)
- Media massa
Contoh:
·
Penayangan acara SmackDown!
di televisi diyakini telah menyebabkan penyimpangan perilaku anak-anak dalam
beberapa kasus.
·
Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau
bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya.
·
Gelombang besar pornografi, baik dari internet maupun media cetak
atau tv, didahului dengan gelombang game eletronik dan segmen-segmen tertentu
dari media TV (horor, kekerasan, ketaklogisan, dan seterusnya) diyakini telah
mengakibatkan kecanduan massal, penurunan kecerdasan, menghilangnya
perhatian/kepekaan sosial, dan dampak buruk lainnya.
- Agen-agen lain
III.
Medologi
Proses sosialisasi:
Menurut
George Herbert Mead
George
Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat
dibedakan menlalui tahap-tahap sebagai berikut.- Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Contoh: Kata "makan" yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan "mam". Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.
- Tahap meniru (Play Stage)
- Tahap siap bertindak (Game Stage)
- Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage/Generalized other)
Charles H. Cooley
Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut dia, Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga tahapan sebagai berikut.
1. Kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain.
Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak memiliki prestasi di kelas dan selalu menang di berbagai lomba.
2. Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.
Dengan pandangan bahwa si anak adalah anak yang hebat, sang anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu memuji dia, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini bisa muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. MIsalnya, gurunya selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau orang tuanya selalu memamerkannya kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum tentu benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal bila dibandingkan dengan orang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat ini bisa jadi menurun kalau sang anak memperoleh informasi dari orang lain bahwa ada anak yang lebih hebat dari dia.
3. Bagaimana perasaan kita sebagai akibat dari penilaian tersebut.
Dengan adanya penilaian bahwa sang anak adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.
Ketiga tahapan di atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana seseorang akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa penilaian orang terhadapnya. Jika seorang anak dicap "nakal", maka ada kemungkinan ia akan memainkan peran sebagai "anak nakal" sesuai dengan penilaian orang terhadapnya, walaupun penilaian itu belum tentu kebenarannya.
IV.
Study kasus
Apa yang disosialisasikan ? :
Budaya .
Anak
dilahirkan dalam dunia sosial. Mereka merupakan anggota baru di dunia tersebut.
Dari kacamata masyarakat, fungsi sosialisasi adalah mengalihkan segala macam
informasi yang ada dalam masyarakat tersebut kepada anggota-anggota barunya
agar mereka dapat segera dapat berpartisipasi di dalamnya.
Berdasarkan
pengalaman yang kita miliki, banyak aspek-aspek kehidupan kita relatif stabil
dan bisa diprediksi. Jalan-jalan yang cenderung padat di pagi hari, orang
berlibur di akhir pekan, anak-anak usia
enam tahun mulai bersekolah, tata letak bangunan fisik suatu kota – ada
alun-alun, pusat perbelanjaan, terminal bis, dsb., makan tiga kali dalam satu
hari. Kesemua perilaku masyarakat tadi sudah membentuk satu pola perilaku umum
yang secara teratur terjadi setiap hari. Keteraturan yang relatif stabil
tersebut mengembangkan satu pola interaksi sebagai satu bentuk dari budaya. Budaya
atau kebudayaan adalah keseluruhan hal yang yang diciptakan oleh unit-unit
sosial di mana setiap anggota unit sosial tersebut memberikan makna yang
relatif sama pada hal-hal tadi; keyakinannya, nilai, norma, pengetahuan,
bahasa, pola interaksi, dan juga hal-hal yang berkaitan dengan sarana fisik,
seperti bangunan, mobil, baju, buku.
Komponen atau unsur Budaya
Nilai adalah prinsip-prinsip etika
yang dipegang dengan kuat oleh individu atau kelompok sehingga mengikatnya dan
lalu sangat berpengaruh pada perilakunya. Nilai berkaitan dengan gagasan
tentang baik dan buruk, yang dikehendaki dan yang tak dikehendaki. Nilai
membentuk norma, yaitu aturan-aturan baku tentang perilaku yang harus dipatuhi
oleh setiap anggota suatu unit sosial sehingga ada sanksi negatif dan positif.
Norma sendiri ada berbagai tingkatan , yaitu adat istiadat (folkways) – cara
makan, cara berpakaian, - anggota yang tidak melaksanakannya “hanya” kena
sanksi sosial mis : dianggap aneh, “nyleneh”;
“mores” – aturan bisa tidak tertulis namun sanksinya relatif berat - misalnya telanjang bulat di depan kelas
akan dianggap gila ; dan hukum (laws) –
aturannya tertulis dan perlanggarnya bisa diperjarakan. Selain nilai dan norma,
satu unsur budaya lainnya adalah peran. Peran atau peranan adalah seperangkat
harapan atau tuntutan kepada seseorang untuk menampilkan perilaku tertentu
karena orang tersebut menduduki suatu status sosial tertentu.
Siapa yang mensosialisasikan
budaya ? : Agen Sosialisasi
Institusi. Institusi
adalah satu bentuk unit sosial yang memfokuskan pada pemenuhan satu bentuk
kebutuhan masyarakat. Misalnya sekolah, keluarga, agama. Mass-media : koran,
majalah, televisi, radio. Individu dan kelompok – kakak, adik, ayah, ibu,
teman, guru, kelompok hobi, korpri, dharmawanita, dsb.
Bagaimana cara mensosialisasikan
budaya ?
Sosialisasi
melibatkan proses pembelajaran . Pembelajaran tidak sekedar di sekolah formal,
melainkan berjalan di setiap saat dan di mana saja. Yang dimaksud dengan
belajar atau pembelajaran adalah modifikasi perilaku seseorang yang relatif
permanen yang diperoleh dari
pengalamannya di dalam lingkungan sosial/ fisik. Seseorang selalu mengucapkan
salam pada saat bertemu orang lain yang dikenalnya; perilaku tersebut merupakan
hasil belajar yang diperoleh dari lingkungan di mana dia dibesarkan. Demikin
pula seorang yang suka makan “jengkol/jering”, mereka belajar dari
lingkungannya.
Ada tiga
teori yang relatif kuat yang dapat menjelaskan proses pembelajaran dalam
sosialisasi. Pertama adalah teori pembelajaran sosial (social learning theory),
kedua teori perkembangan individu (developmental theory), dan ketiga teori
interaksi simbolis (symbolic interaction theory).
V.
pembahasan
A. Berdasarkan teori pembelajaran sosial, pembelajaran terjadi
melalui dua cara. (1) dikondisikan, dan (2) meniru perilaku orang lain. Tokoh
utama pendekatan pertama adalah B.F. Skinner (1953), yang terkenal dengan
konsep operant conditioning – Berdasarkan berbagai percobaan melalui tikus dan
merpati, Skinner memperkenalkan konsepnya tersebut. Perilaku yang sekarang ditampilkan merupakan hasil
konsekuensi positif atau negatif dari perilaku yang sama sebelumnya. Seorang
anak rajin belajar karena memperoleh
hadiah dari orang tuanya. Seorang murid yang mempeoleh nilai baik, dipuji-puji
di depan orang banyak. Memuji, memberi imbalan, merupakan cara untuk
memunculkan bentuk perilaku tertentu. Memarahi, memberi hukuman, merupakan cara
untuk menghilangkan perilaku tertentu. Dengan demikian jika generasi awal ingin
melestarikan berbagai bentuk perilaku kepada generasi sesudahnya, maka kepada
setiap perilaku yang dianggap perlu dilestarikan harus diberikan imbalan.
Seorang anak diminta berdoa sebelum makan, dan setelah selesai berdoa, orang
tuanya memujinya .
Pendekatan kedua
dikenal dengan nama “observational learning”. Tokoh di balik konsep tersebut
adalah Albert Bandura. Inti perndekatan ini adalah bahwa perilaku seseorang
diperoleh melalui proses peniruan perilaku orang lain. Individu meniru perilaku
orang lain karena konsekuensi yang diterima oleh orang lain yang menampilkan
perilaku tersebut positif, dalam pandangan individu tadi. Jika kita ingin
mensosialisasikan hidup secara teratur, disiplin, maka caranya adalah
memberikan contoh. Di samping itu bisa juga menciptakan model yang layak untuk
ditiru.
B.
Berdasarkan teori-teori
perkembangan, pembelajaran , sosialisasi di tahap awal melibatkan serangkaian
tahapan. Setiap tahap akan memunculkan bentuk perilaku tertentu dan setiap
manusia perilakunya berkembang melalui tahapan yang sama. Misalnya, tahap
perkembangan yang dikemukakan oleh Erik Ericson (1950), ada delapan tahapan.
Tahap pertama pengembangan rasa percaya pada lingkungan, tahap kedua
pengembangan kemandirian, tahap ketiga pengembangan inisiatif, tahap keempat
pengembangan kemampuan psikis dan pisik, tahap kelima pengembangan identitas
diri. Kelima tahapan tersebut terjadi pada saat sosialisasi di masa
kanak-kanak. Tahap perkembangan setelah itu adalah tahap keenam merupakan
pengembangan hubungan dengan orang lain secara intim, tahap ketujuh
pengembangan pembinaan keluarga/keturunan, dan tahap kedelapan pengembangan
penerimaan kehidupan.
Interaksi dengan
manusia lain dalam proses sosialisasi merupakan satu keharusan. Interaksi
senantiasa mengandalkan proses komunikasi, dan salah satu alat komunikasi
adalah bahasa. Kapasitas seseorang berbahasa dipengaruhi oleh akar biologis
yang sangat dalam, namun pelaksanaan
kapasitas tersebut sangat ditentukan oleh lingkungan budaya di mana kita
dibesarkan. Berdasarkan teori perkembangan ada beberapa tahapan yang harus
dilalui. Tahap pertama adalah di tahun pertama, yaitu tahapan sebelum seorang
anak berbahasa (prelinguistic stage). Disebut sebagai “sebelum berbahasa”
karena bunyi yang dikeluarkan belum disebut kata-kata. Misalnya : “a-a-a-a,
det-det-det, ga-ga-ga, “. Tahap kedua adalah tahap di mana anak sudah mulai
belajar berjalan (toddlers). Mulai belajar bicara, misalnya “tu-tu” untuk kata
“itu”; “dul” untuk kata “tidur”, “mi-mi” untuk kata “minum”, dst. Di samping bahasa verbal, dalam tahapan itu
juga, anak juga sudah mulai menggunakan bahasa nonverbal (body language).
Menganggukan kepala untuk mengatakan ya, menunjuk dengan jari untuk mengatakan
itu, dsb. Tahap ketiga : sebelum masuk
sekolah. Anak sudah bisa bicara dengan kata-kata dan struktur bahasa yang
sederhana. dan terbatas pada apa yang diajarkan oleh keluarga. Tahap berikutnya
terjadi setelah anak mulai sekolah. Dalam tahapan ini anak memperoleh
perbendaharaan kata yang lebih banyak. Mereka juga belajar menyusun kata-kata
secara lebih benar sesuai dengan ejaan yang secara umum digunakan oleh
masyarakat luas.
Selain perkembangan
dalam hal-hal tersebut sebelumnya, manusia mengalami perkembangan moral (moral
development). Salah satu konsep yang banyak dibahas adalah terori yang
dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg (1984). Lihat lampiran.
C.
Berdasarkan teori interaksi simbolis
Asal teori ini dari disiplin sosiologi, yaitu satu teori yang
memusatkan pada kajian tentang bagaimana individu menginterpretasikan dan
memaknakan interaksi-interaksi sosialnya. Di dalam teori ini ditekankan
bagaimana peran aktif seorang anak dalam sosialisasi. Sejak masa kanak-kanak,
kita belajar mengembangkan kemampuan diri (mengevaluasi diri, memotivasi diri,
mengendalikan diri). Menurut Herbert Mead (1934) ada tiga proses tahapan
pengembangan diri yang memungkinkan seorang anak menjadi mampu berpartisipasi
penuh dalam kehidupan sosial. Tahap pertama adalah preparatory stage, tahap
kedua play stage, dan tahap terakhir adalah game stage.
Pada tahapan pertama,
anak belum mampu memandang perilakunya sendiri. Mereka meniru perilaku orang
lain yang ada di sekitarnya dan mencoba memberikan makna. Anak juga mulai
belajar menangkap makna dari bahasa yang digunakannya. Pada tahapan kedua, anak
mulai belajar berperan seperti orang lain. Berperilaku seperti ayahnya, ibunya,
guru, dsb. Melalui bermain peran yang beraneka ragam itu anak mempelajari
pola-pola perilaku individu lainnya . Tahap ketiga merupakan tahapan di mana
anak melatih ketrampilan sosialnya. Dia belajar bagaimana memenuhi harapan
orang lain yang jumlahnya tidak hanya satu. Memenuhi harapan teman-temannya,
kelompok bermainnya, kelompok belajarnya, dsb.
VI.
Penutup
Sekian makalah yang saya buat mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua,
terima kasih kepada Allah SWT dan dosen yang mengajar ilmu sosial dasar.
Sumber:
”Early Socialization” Wiggins,
Wiggins & Zanden, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar