Pages

Selasa, 01 Mei 2012

MANUSIA DAN HARAPAN


 Harapan
Setiap manusia mempunyai harapan. Manusia yang tanpa harapan berarti manusia itu mati dalam hidup. Orang yang akan meninggal sekalipun mempunyai harapan, biasanya berupa pesan-pesan kepada ahli warisnya. Harapan bergantung paa pengetahuan, pengalaman, lingkungan hidup dan kemampuan masing-masing. Berhasil atau tidaknya suatu harapan tergantung pada usaha orang yang mempunyai harapan. Harapan harus berdasarkan kepercayaan, baik kepercayaan pada diri sendiri, maupun kepercayaan kepada Tuhan yang maha esa. Agar harapan terwujud, maka perlu usaha dengan sungguh-sungguh. Bila dibandingkan dengan cita-cita, maka harapan mengandung pengertian tidak terlalu muluk, sedangkan cita-cita pada umumnya perlu setinggi bintar. Antara harapan dan cita-cita terdapat persamaan yaitu : keduanya menyangkut masa depan karena belum terwujud, pada umumnya
dengan cita-cita maupun harapan orang menginginkan hal yang lebih baik atau meningkat.
Menurut kodratnya manusia itu adalah mahluk sosial. Setiap lahir ke dunia langsung disambut dalam suatu pergaulan hidup, yakni ditengah suatu keluarga dan anggota masyarakat lainnya. Ada dua hal yang mendorong manusia hidup dalam pergaulan manusia lain yaitu dorongan kodrat dan dorongan kebutuhan hidup.
Menurut Maslow sesuai dengan kodrat dan dorongan kebutuhan hidup itu maka manusia mempunyai harapan. Pada hakekatnya harapan itu adalah keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sesuai dengan kodratnya harapan manusia atau kebutuhan manusia itu adalah :
1. kelangsugnan hidup
2. keamanan
3. hak dan kewajiban mencintai dan dicintai
4. diakui lingkungan
5. perwujudan cita-cita

Kepercayaan
Kepercayaan berasal dari kata percaya artinya mengakui atau meyakini akan kebenaran. Kepercayaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pengakuan atau keyakinan akan kebenaran. Dasar kepercayaan itu adalah kebenaran. Kebenaran atau benar amat penting bagi manusia. Setiap orang mendambakannya, karena ia mempunyai arti khusus bagi hidupnya. Ia merupakan focus dari segala pikiran, sikap dan perasaan. Dalam tingkah laku, perbuatan manusia selalu hati-hati agar mereka tidak menyimpang dari kebenaran. Manusia sadar bahwa ketidak benaran dalam bertindak, berucap dapat mencemarkan atau menjatuhkan namanya.
Dr Yuyun suriasumantri dalam bukunya filsafat ilmu mengemukakan tiga
teori tentang kebenaran :
o   teori koherensi; suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan – pernyataan, sebelumnya yang dianggap benar. Misalnya setiap manusia pasti mati. Paul manusia. Paul pasti mati.
o   teori korespondensi’ teori yang menyatakan bahwa suatu pernyataan benar bila materi pengetahuan yang dikandung penyataan itu berkorespondesni (berhubungan dengan) obyek yagn dituju oleh pernyataan tersebut.
o   teori pragmatis’ Kebenaran suatu pernyataan diukur dengan criteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis
Dasar kepercayaan adalah kebenaran, sumber kebenaran adalah manusia. Kepercayaan itu dapat dibedakan atas :
1. kepercayaan pada diri sendiri
2. kepercayaan pada orang lain
3. kepercayaan pada pemerintah
4. kepercayaan pada Tuhan


MANUSIA DAN KEBUDAYAAN

MANUSIA DAN KEBUDAYAAN

BEGITU  lahir-begitu banyak orang sering mengatakannya-orang Indonesia keturunan Tionghoa sudah langsung pintar berdagang dan pandai pula mencari duit. Dan, lagi-lagi kata orang, mereka juga sering tidak menunjukkan kegairahan besar untuk mau bergaul dengan orang lain di luar kelompoknya. Sebaliknya (masih kesan orang), mereka cenderung berperilaku eksklusif; hanya mau bergaul secara intens dalam kelompoknya sendiri, demikian seterusnya.
Mitos-mitos tentang karakter-karakter tipikal orang Indonesia keturunan Tionghoa inilah yang hingga kini masih tertanam kuat di benak kita. Bahkan, bisa jadi, mitos-mitos itu juga masih hidup subur dan tertanam dalam-dalam di lubuk kesadaran kalangan warga Indonesia keturunan Tionghoa sendiri. Pertanyaannya, lalu adakah sesuatu yang salah dalam perjalanan sejarah kita sebagai bangsa, hingga mitos-mitos itu bisa begitu hidup dan tertanam lekat di benak kita sampai sekarang?
Atas pertanyaan sepenting ini, Prof Daniel S Lev PhD (guru besar emeritus Ilmu Politik Universitas Washington) lalu menarik akar dalam sejarah kita sebagai bangsa. Dalam seminar internasional tentang “Orang Indonesia-Tionghoa: Manusia dan Kebudayaannya” di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, awal bulan ini, persoalan tersebut ia paparkan dengan cara yang cukup menarik. Lev ingin menunjukkan betapa sistem politik minoritas di masa lalu telah menempatkan warga Indonesia keturunan Tionghoa itu sebagai “warga minoritas” di tengah kelompok “masyarakat mayoritas” Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis lainnya. ***
GELOMBANG migrasi orang-orang Tionghoa secara individual dari daratan Cina ke berbagai pelosok wilayah di seluruh Indonesia, telah berlangsung lama dan itu terjadi jauh sebelum VOC datang. Itu pun, kata Lev, tidak pernah dianggap aneh, berbahaya, atau merupakan satu kejadian luar biasa bagi warga lokal yang menerima kehadiran “tamu-tamu asing” itu. Bahkan menurut sinolog dan antropolog Prof Leonard Blusse dari Universitas Leiden, Belanda, selalu terjadi proses adaptasi damai antara kelompok pendatang dari daratan Cina ini dengan warga setempat. Kalaupun pernah terjadi konflik antarmereka sepanjang proses adaptasi sosial itu, begitu keyakinan Lev, itu adalah hal biasa.
Yang pasti, umumnya kedatangan orang-orang Tionghoa dari daratan Cina ini pernah tidak ditolak, dikucilkan oleh masyarakat lokal, atau kemudian dijadikan kambing hitam dan dihantam terus-menerus seperti yang belakangan terjadi. Pendulum sejarah memang akhirnya berbelok arah. Terjadi pemisahan sosial-politik antara warga Indonesia keturunan Tionghoa dengan masyarakat setempat. Ini terjadi, terutama sejak Pemerintah Belanda mulai menerapkan sistem politik minoritas, yang sebenarnya tidak banyak berbeda dibandingi sistem politik sama yang dijalankan oleh Pemerintah kolonial bangsa-bangsa lain di masing-masing daerah koloninya di seluruh dunia.
Politik minoritas ini diterapkan, kata Lev, dengan tujuan-tujuan khusus. Selain untuk menciptakan struktur sosial-ekonomi yang aman dan efisien, politik minoritas yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda itu dimaksudkan untuk menepis peluang terbentuknya kelas menengah di antara masyarakat “pribumi”. Mereka ini adalah kaum pedagang pribumi yang dianggap sangat potensial bisa mengancam kekuasaan Belanda di Indonesia. Demi tujuan itu, dirangkullah para pejabat lokal-seperti para sultan di Jawa dan Raja di luar Jawa- oleh pemerintah kolonial Belanda dalam sebuah aliansi politik.
Pada saat bersamaan, guna mengisi kevakuman tiadanya kelompok pedagang-posisi kelas menengah yang tidak diminati orang-orang Belanda-lalu sengaja diciptakanlah (dengan banyak paksaan) semacam persetujuan dan kontrak dengan kelompok minoritas Tionghoa. Sejak itu, mulai riil berlaku sistem politik minoritas terhadap warga Indonesia keturunan Tionghoa yang anehnya hal itu tak berlaku bagi warga keturunan Arab atau kelompok etnik lainnya. Sistem politik minoritas ini belakangan telah menimbulkan implikasi sosial-politik serius berkaitan dengan citra negatif tentang masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Itu termasuk komentar-komentar bernada peyoratif berupa mitos-mitos yang salah perihal karakter khas masyarakat keturunan Tionghoa. Yang paling tragis tentu saja, tendensi masyarakat umum yang dengan mudahnya menohok kelompok minoritas Tionghoa ini sebagai pangkal dan sumber segala masalah. Ini tak mengherankan, kata Lev, “Karena sejak awal mereka sudah sering dianggap sebagai sumber segala masalah alias bisa dengan mudah pula bisa dijadikan kambing hitam bila terjadi sesuatu,” tandasnya.
KERUSUHAN Mei tahun 1998 silam, terutama di banyak tempat di Pulau Jawa, bagi banyak orang telah menanamkan kesan kuat betapa insiden sosial ini tampaknya disengaja untuk bisa menjadikan warga Tionghoa sebagai korbannya. Menurut pengamatan Lev, peristiwa ini merupakan contoh nyata perihal telah berkembangnya rasa sentimen masyarakat umum terhadap eksistensi warga minoritas ini. Peristiwa untuk menyudutkan kelompok minoritas ini bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Di tahun 1740, VOC bahkan pernah mengerahkan orang-orang Belanda dan Jawa untuk melakukan tindakan pembunuhan massal (massacre) terhadap kelompok minoritas ini.
Dalam peristiwa itu korban tewas tercatat tak kurang 10.000 jiwa. Aksi yang disertai pembakaran rumah-rumah milik warga Tionghoa, secara massif dari Jakarta hingga Semarang, rasanya logis mengatakan bahwa sejak dulu kelompok minoritas ini telah terbiasa untuk selalu disudutkan, dijadikan kambing hitam, dan menjadi sasaran kemarahan massa. “Ribuan orang Tionghoa tewas dalam serangan ini yang besar kemungkinan juga karena disulut oleh rasa sentimen ekonomi. Lebih jauh, peristiwa ini semakin meningkatkan suatu proses terjadinya kelompok minoritas seperti dalam bentuknya sekarang,” kata Lev.
KESALAHAN sejarah di masa pemerintahan kolonial Belanda ternyata berlanjut kembali di era pemerintahan Orde Baru. Lebih menyedihkan lagi, ungkap Lev, tekanan politik dan sosial oleh penguasa Orde Baru terhadap kelompok minoritas ini semakin intensif. Selain partisipasi dalam politik praktis diingkari dan bahkan sama sekali diasingkan dari jajaran birokrasi pemerintahan, kaum minoritas ini juga begitu rentan mendapat cap-cap jelek. Yang terburuk tentu saja menjadikan mereka sebagai sumber segala masalah atau kambing hitam. Sementara, ketergantungan mereka diintensifkan pada ling-karan kekuasaan-terutama menyangkut soal jaminan keamanan, perlindungan, dan proteksi ekonomi-pada saat yang sama mereka tanpa henti menjadi “sapi perah” ekonomi bagi kepentingan kekuasaan dan birokrat.
Tak heran bila di tahun 1970-an muncul istilah cukong untuk menyebut orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa kaya raya yang sering bertindak sebagai “kasir” bagi kepentingan aparat dan birokrat. Oleh karena itu, tak terlalu mengherankan kalau di kemudian hari-terutama karena proteksi dan hak-hak monopoli perdagangan-warga minoritas Indonesia keturunan Tionghoa ini lalu menjadi sungguh-sungguh terampil mengelola bisnis perdagangan. Hal ini memang sejak dulu telah mendapat “restu” dari pemerintah kolonial Belanda; sebuah kebijakan politik yang rupanya berlanjut terus dan makin massif di era pemerintahan Orde Baru.
“Sedari awal, kelompok minoritas Indonesia keturunan Tionghoa ini telah resmi diizinkan bisa mencari nafkah secara bebas di dunia bisnis dan bahkan malah boleh menjadi kaya juga…,” ungkap Lev. Ujung-ujungnya, lalu muncul berbagai mitos yang salah tentang kelompok minoritas ini. Taruhlah itu anggapan umum di kalangan warga mayoritas “pribumi”, yakni anggapan bahwa orang-orang Tionghoa ini sejak dari sono-nya sudah pandai berdagang dan cari duit, serta tidak berbakat di bidang lainnya, juga tidak mau bergaul dengan kelompok masyarakat lain, dan seterusnya.
Padahal, di balik semua itu, dalam kontrak dan persetujuan implisit yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda terhadap kelompok minoritas ini selalu tersembunyi satu persyaratan yang kurang lebih berbunyi begini: “Kalau ada apa-apa yang terjadi, yang (harus) disalahkan adalah (kelompok) minoritas dan ini terjadi di setiap wilayah koloni di mana-mana. Persyaratan itu hingga sekarang masih ada,” ungkap Lev. Cap-cap jelek itu makin menjadi-jadi di era Orde Baru. Ada perubahan signifikan atas semula yang disebut Republik Rakyat Tionghoa (RRT) harus diubah menjadi Republik Rakyat Cina (RRC). Itu membawa konsekuensi serius, karena kebijakan politik asimilasi lalu juga mengharuskan sebutan “Tionghoa” harus diubah menjadi “Cina”, yang di sini tanpa keraguan sedikit pun sangat bernuansa penghinaan atau merendahkan.
Begitu kelompok minoritas ini semakin tertekan dan terisolasi, maka dengan mudah pula rezim Orde Baru lalu bisa “menghidupkan” kembali sejumlah persyaratan kontrak dulu antara kelompok minoritas ini dengan pemerintah kolonial Belanda. Dari situasi inilah lalu muncul istilah cukong seperti dimaksudkan di atas. Rupanya ada kesamaan cara pikir penguasa kolonial Belanda dengan penguasa Orde Baru; mereka sama-sama ingin menjadikan warga Tionghoa ini sebagai warga minoritas yang hidup di atas menara gading. Saat bersamaan mereka juga dijadikan kelompok pebisnis profesional yang sewaktu-waktu harus bisa dimanfaatkan bagi kepentingan penguasa.
Praktik politik minoritas ini nyata-nyata bertujuan agar jangan sampai tercipta kelas menengah “pribumi” yang potensial mengancam kekuasaan Orde Baru. Dengan tergantungnya warga minoritas ini kepada penguasa dalam masalah jaminan keamanan dan proteksi (dagang), maka kekuasaan bisa dengan mudah dimanfaatkan bagi kepentingan kekuasaan seperti dengan adanya kewajiban “setoran”. Dengan kata lain, para pedagang Tionghoa itu bisa diperas terus-menerus. Ini bisa berlanjut terus, hanya apabila warga Tionghoa ini tetap hidup dalam kerangka isolasi sosial dan jangan sampai terjun masuk ke dalam politik praktis dengan menjadi politisi atau anggota parlemen.
Bila akhirnya lalu muncul budaya suap, main uang di bawah meja, lagi-lagi kelompok minoritas inilah yang akhirnya dipersalahkan oleh masyarakat. Mereka, katanya, memang telah menjadi terbiasa dengan main sogok, paling tidak begitu cap yang seakan-akan menuduh kelompok minoritas ini sebagai biang keladi tradisi budaya korupsi. Amat jarang, misalnya, kita mau dengan jujur mengatakan bahwa sesungguhnya para aparat dan pegawai birokrasi itulah yang sejatinya lebih mata duitan, sehingga mau tak mau lalu memeras kelompok minoritas ini yang tengah terjepit kepentingannya. Dari sinilah, mitos-mitos yang salah tentang orang-orang Tionghoa itu semakin terkukuhkan lagi.
RANGKUMAN hasil diskusi kelompok dalam seminar ini secara tegas menyimpulkan, semua mitos tentang masyarakat Tionghoa di atas itu adalah tidak benar. Alih-alih selalu berkutat pada persoalan ingin menjadikan kelompok minoritas ini sebagai “sasaran tembak”, jauh lebih baik mau mengembangkan sikap positif. Sebaiknya kita harus berani membedah peran penting yang pernah dilakukan sejumlah tokoh orang Tionghoa-seperti Kapten John Lee-dalam sejarah pergerakan nasional menurut proporsinya. Hal itu perlu dilakukan, tambah Mely Tan selaku ketua panitia pengarah, karena kini justru tengah berlangsung hal-hal positif yang mendukung proses terciptanya-katakanlah-”identitas” keindonesiaan kita sebagai bangsa.
Proses itu semakin mengkristal di kalangan anak-anak muda, di mana proses konvergensi (pemusatan pandangan menuju satu arah yang sama) antarkawula muda-baik dari kelompok pribumi maupun nonpribumi-semakin kencang. “Masyarakat perlu mendukung proses itu agar proses pembentukan kesadaran baru menyangkut identitas diri baru mereka semakin nyata. Itu penting, karena kalangan muda ini sekarang lebih suka menyebut dirinya orang Indonesia tanpa disertai embel-embel apa pun,” ungkap Mely di akhir seminar. Menurut dia, kalaupun orang lalu menuntut harus ada “identitas” tambahan yang sifatnya lebih bisa menerangkan halnya, katakanlah itu dari keturunan etnis mana dia berasal, hal itu haruslah hanya merupakan tambahan saja. “Jadi tidak perlu ada pretensi politik apa pun di sini,” tandasnya. Jelas, seruan seminar ini juga mengartikulasikan harapan besar agar jangan ada lagi mitos-mitos dan persepsi salah tentang warga Indonesia keturunan Tionghoa ini.

KONSEP ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAAN

KONSEP ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAAN

PENDEKATAN KESUSASTRAAN

IBD, yang semula dinamakan Basic Humanities, berasal dari bahasa Inggris the humanities. Istilah ini berasal dari bahasa latin Humanus, yang berarti manusiawi, berbudaya, dan halus. Dengan mempelajari the humanities orang akan menjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Jadi the humanities berkaitan dengan masalah nilai, yaitu nilai kita sebagai homo humanus.

Untuk menjadi homo humanus, manusia harus mempelajari ilmu, yaitu the humanities, disamping tanggung jawabnya yang lain. Apa yang dimasukkan kedalam the humanities masih dapat diperdebatkan, dan kadang-kadang disesuaikan dengan keadaan dan waktu. Pada umunmya the humanities mencakup filsafat, teologi, seni dan cabang-cabangnya tennasuk sastra, sejarah, cerita rakyat, clan. sebaginya. Pada pokoknya semua mempelajari masalah manusia dan budaya. Karena itu ada yang menterjemahkan the humanities menjadi ilmu-ilmu kemanusiaan, ada juga yang menterjemahkan menjadi pengetahuan budaya.
Karena seni adalah ekspresi yang sifatnya tidak normatif, seni lebih mudah berkomunikasi. Karena tidak normatif, nilai-nilai yang disampaikannya lebih fleksibel, baik isinya maupun cara penyampaiannya.

Hampir disetiap jaman, sastra mempunyai peranan yang lebih penting. Alasan pertama, karena sastra mempergunakan bahasa. Sementara itu, bahasa mempunyai kemampuan untuk menampung hampir semua pemyataan kegiatan manusia. Dalam usahanya untuk memahami dirinya sendiri, yang kemudian melahirkan filsafat, manusia mempergunakan bahasa. Dalam usahanya untuk memahami alam semesta, yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan, manusia mempergunakan bahasa. Dalam usahanya untuk mengatur hubungan antara sesamanya yang kemudian melahirkan ilmu-ilmu sosial, manusia mempergunakan bahasa. Dengan demikian, manusia dan bahasa pada haketnya adalah satu. Kenyataan inilah mempermudah sastra untuk berkomunikasi.

Sastra juga lebih mudah berkomunikasi, karena pada hakekatnya karya sastra adalah penjabaran abstraksi. Sementara itu filsafat, yang juga mempergunakan bahasa, adalah abstraksi. Cinta kasih, kebahagian, kebebasan, dan lainnya yang digarap oleh filsafat adalah abstrak. Sifat abstrak inilah yang menyebabkan filsafat kurang berkomunikasi.

Karena seni memegang peranan penting, maka seniman sebagai pencipta karya seni juga penting, meskipun yang lebih penting adalah karyanya. Seniman adalah media penyampai nilai-nilai kemanusiaan. Kepekaannya menyebabkan dia mampu menangkap hal yang lepas dart pengamatan orang lain.

IBD adalah salah satu mata kuliah yang diberikan dalam satu semester, sebagai bagian dart MKDU. IBD tidak dimaksudkan untuk mendidik ahti-ahli dalam salah satu bidang keahlian yang tennasuk didalam pengetahuan budaya ( The Humanities ), Akan tetapi IBD semata-mata sebagai salah satu usaha mengembangkan kepribadian mahasiswa dengan cara memperluas wawasan pemikiran serta kemampuan kritikalnya terhadap nilai-nilai budaya. Pada waktu menggunakan karya sastra, misalnya. Mahasiswa tidak perlu mengetahui sejarah sastra, teori sastra, kritik sastra, dan sebaginya. Memang seperti cabang-cabang the humanities lainnya, dalam Ilmu Budaya Dasar sastra tidak diajatkan sebagai salah satu disiplin ilmu. Sastra disini digunakan sebagai alat untuk membahas masalah-masalah kemanusiaan yang dapat membantu mahasiswa untuk menjadi lebih humanus. Demikian juga filsafat, musik, seni rupa, dan sebagainya.
Orientasi the Humanities adalah ilmu : dengan mempelajari satu atau sebagian dart disiplin ilmu yang tercakup dalam the humanities, mahasiswa diharapkan dapat menjadi homo humanus yang lebih baik.

MANUSIA DAN KEINDAHAN


MANUSIA DAN KEINDAHAN
Keindahan/seni dibutuhkan oleh setiap manusia agar kehidupan yang dijalaninya menjadi indah sentosa. Di kota Padang sendiri hal-hal mengenai kesenian ditanggapi dengan baik terbukti dengan adanya Taman Budaya yang menjadi tempat berlangsungnya berbagai kegiatan/acara seni seperti seni rupa, seni pertunjukan maupun kesenian tradisional seperti randai dan pencak silat ataupun media komunkasi modern/radio yang mulai beradaptasi dengan kebudayaan tradisi lokal dimana dia berada seperti radio Sushi FM yang pendengarnya anak muda bercitra modern yang mulai menyiarkan hal-hal berbau tradisi Minangkabau yang tecermin dari segi bahasa, pelaku seninya maupun jenis acara yang disiarkannya. Dalam hal ini, itu merupakan hal yang patut dipuji dimana stasiun radio tersebut berusaha menunjukkan terutama kepada anak-anak muda daerah agar tetap melestarikan kesenian/budaya tradisinya tanpa bersikap etnosentrisme.
Pemerintah Daerah perlu memperhatikan kehidupan para seniman yang tetap konsisten dengan kesenian daerah dan melakukan inovasi dengan kebudayaan luar agar tak ‘dimakan’ oleh kaum Kapitalis yang menjual hal-hal yang dianggap berharga dari sekedar materi sehingga kehilangan nilai-nilai yang nantinya menimbulkan anomi tersendiri dalam masyarakat.

Manusia dan keindahan/seni memang tak bisa dipisahkan sehingga diperlukan pelestarian bentuk keindahan yang dituangkan dalam berbagai bentuk kesenian (seni rupa, seni suara maupun seni pertunjukan) yang nantinya manjadi bagian dari kebudayaannya yang dapat dibanggakan dan mudah-mudahan terlepas dari unsur politik
.
Dalam hal ini Indonesia sebagai negara yang baru berkembang dalam hal kesenian mendapat prestasi tersendiri dimata negara luar seperti Malaysia dan Singapura. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya group-group musik yang musiknya diterima disana sehingga sering mewakili Indonesia untuk ajang musik se-Asia. Hal tersebut perlu menjadi perhatian Pemerintah Indonesia dimana seniman yang benar-benar berkesenian sesuai dengan norma-norma ketimuran tanpa mengindahkan teknologi modern perlu diletakkan pada kelas tersendi sehingga tak kehilangan arah bila bila ia ‘dirasuki’ paham-paham dari luar seperti dimanfaatkan oleh kaum Kapitalis yang hanya mengejar keuntungan materi semata tapi mengacuhkan nilai-nilai yang ditimbulkan sehingga seniman-seniman seperti Chairil Anwar, Affandi dan lain sebagainya tetap muncul dan mampu menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia dimata negara lain tanpa harus kehilangan nilai ketimurannya.