MANUSIA
DAN KEBUDAYAAN
BEGITU lahir-begitu banyak orang sering
mengatakannya-orang Indonesia keturunan Tionghoa sudah langsung pintar
berdagang dan pandai pula mencari duit. Dan, lagi-lagi kata orang, mereka juga
sering tidak menunjukkan kegairahan besar untuk mau bergaul dengan orang lain
di luar kelompoknya. Sebaliknya (masih kesan orang), mereka cenderung
berperilaku eksklusif; hanya mau bergaul secara intens dalam kelompoknya
sendiri, demikian seterusnya.
Mitos-mitos
tentang karakter-karakter tipikal orang Indonesia keturunan Tionghoa inilah
yang hingga kini masih tertanam kuat di benak kita. Bahkan, bisa jadi,
mitos-mitos itu juga masih hidup subur dan tertanam dalam-dalam di lubuk
kesadaran kalangan warga Indonesia keturunan Tionghoa sendiri. Pertanyaannya,
lalu adakah sesuatu yang salah dalam perjalanan sejarah kita sebagai bangsa,
hingga mitos-mitos itu bisa begitu hidup dan tertanam lekat di benak kita
sampai sekarang?
Atas pertanyaan sepenting ini, Prof Daniel S Lev PhD (guru
besar emeritus Ilmu Politik Universitas Washington) lalu menarik akar dalam
sejarah kita sebagai bangsa. Dalam seminar internasional tentang “Orang Indonesia-Tionghoa:
Manusia dan Kebudayaannya” di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Jakarta, awal bulan ini, persoalan tersebut ia paparkan dengan cara yang cukup
menarik. Lev ingin menunjukkan betapa sistem politik minoritas di masa lalu
telah menempatkan warga Indonesia keturunan Tionghoa itu sebagai “warga
minoritas” di tengah kelompok “masyarakat mayoritas” Indonesia yang terdiri
dari berbagai kelompok etnis lainnya. ***
GELOMBANG
migrasi orang-orang Tionghoa secara individual dari daratan Cina ke berbagai
pelosok wilayah di seluruh Indonesia, telah berlangsung lama dan itu terjadi
jauh sebelum VOC datang. Itu pun, kata Lev, tidak pernah dianggap aneh,
berbahaya, atau merupakan satu kejadian luar biasa bagi warga lokal yang
menerima kehadiran “tamu-tamu asing” itu. Bahkan menurut sinolog dan antropolog
Prof Leonard Blusse dari Universitas Leiden, Belanda, selalu terjadi proses
adaptasi damai antara kelompok pendatang dari daratan Cina ini dengan warga
setempat. Kalaupun pernah terjadi konflik antarmereka sepanjang proses adaptasi
sosial itu, begitu keyakinan Lev, itu adalah hal biasa.
Yang pasti,
umumnya kedatangan orang-orang Tionghoa dari daratan Cina ini pernah tidak
ditolak, dikucilkan oleh masyarakat lokal, atau kemudian dijadikan kambing hitam
dan dihantam terus-menerus seperti yang belakangan terjadi. Pendulum sejarah
memang akhirnya berbelok arah. Terjadi pemisahan sosial-politik antara warga
Indonesia keturunan Tionghoa dengan masyarakat setempat. Ini terjadi, terutama
sejak Pemerintah Belanda mulai menerapkan sistem politik minoritas, yang
sebenarnya tidak banyak berbeda dibandingi sistem politik sama yang dijalankan
oleh Pemerintah kolonial bangsa-bangsa lain di masing-masing daerah koloninya
di seluruh dunia.
Politik
minoritas ini diterapkan, kata Lev, dengan tujuan-tujuan khusus. Selain untuk
menciptakan struktur sosial-ekonomi yang aman dan efisien, politik minoritas
yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda itu dimaksudkan untuk menepis
peluang terbentuknya kelas menengah di antara masyarakat “pribumi”. Mereka ini
adalah kaum pedagang pribumi yang dianggap sangat potensial bisa mengancam
kekuasaan Belanda di Indonesia. Demi tujuan itu, dirangkullah para pejabat
lokal-seperti para sultan di Jawa dan Raja di luar Jawa- oleh pemerintah kolonial
Belanda dalam sebuah aliansi politik.
Pada saat
bersamaan, guna mengisi kevakuman tiadanya kelompok pedagang-posisi kelas
menengah yang tidak diminati orang-orang Belanda-lalu sengaja diciptakanlah
(dengan banyak paksaan) semacam persetujuan dan kontrak dengan kelompok
minoritas Tionghoa. Sejak itu, mulai riil berlaku sistem politik minoritas
terhadap warga Indonesia keturunan Tionghoa yang anehnya hal itu tak berlaku
bagi warga keturunan Arab atau kelompok etnik lainnya. Sistem politik minoritas
ini belakangan telah menimbulkan implikasi sosial-politik serius berkaitan
dengan citra negatif tentang masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Itu
termasuk komentar-komentar bernada peyoratif berupa mitos-mitos yang salah
perihal karakter khas masyarakat keturunan Tionghoa. Yang paling tragis tentu
saja, tendensi masyarakat umum yang dengan mudahnya menohok kelompok minoritas
Tionghoa ini sebagai pangkal dan sumber segala masalah. Ini tak mengherankan,
kata Lev, “Karena sejak awal mereka sudah sering dianggap sebagai sumber segala
masalah alias bisa dengan mudah pula bisa dijadikan kambing hitam bila terjadi
sesuatu,” tandasnya.
KERUSUHAN
Mei tahun 1998 silam, terutama di banyak tempat di Pulau Jawa, bagi banyak
orang telah menanamkan kesan kuat betapa insiden sosial ini tampaknya disengaja
untuk bisa menjadikan warga Tionghoa sebagai korbannya. Menurut pengamatan Lev,
peristiwa ini merupakan contoh nyata perihal telah berkembangnya rasa sentimen
masyarakat umum terhadap eksistensi warga minoritas ini. Peristiwa untuk
menyudutkan kelompok minoritas ini bukan yang pertama kali terjadi di
Indonesia. Di tahun 1740, VOC bahkan pernah mengerahkan orang-orang Belanda dan
Jawa untuk melakukan tindakan pembunuhan massal (massacre) terhadap kelompok
minoritas ini.
Dalam
peristiwa itu korban tewas tercatat tak kurang 10.000 jiwa. Aksi yang disertai
pembakaran rumah-rumah milik warga Tionghoa, secara massif dari Jakarta hingga
Semarang, rasanya logis mengatakan bahwa sejak dulu kelompok minoritas ini
telah terbiasa untuk selalu disudutkan, dijadikan kambing hitam, dan menjadi
sasaran kemarahan massa. “Ribuan orang Tionghoa tewas dalam serangan ini yang
besar kemungkinan juga karena disulut oleh rasa sentimen ekonomi. Lebih jauh,
peristiwa ini semakin meningkatkan suatu proses terjadinya kelompok minoritas
seperti dalam bentuknya sekarang,” kata Lev.
KESALAHAN
sejarah di masa pemerintahan kolonial Belanda ternyata berlanjut kembali di era
pemerintahan Orde Baru. Lebih menyedihkan lagi, ungkap Lev, tekanan politik dan
sosial oleh penguasa Orde Baru terhadap kelompok minoritas ini semakin
intensif. Selain partisipasi dalam politik praktis diingkari dan bahkan sama sekali
diasingkan dari jajaran birokrasi pemerintahan, kaum minoritas ini juga begitu
rentan mendapat cap-cap jelek. Yang terburuk tentu saja menjadikan mereka
sebagai sumber segala masalah atau kambing hitam. Sementara, ketergantungan
mereka diintensifkan pada ling-karan kekuasaan-terutama menyangkut soal jaminan
keamanan, perlindungan, dan proteksi ekonomi-pada saat yang sama mereka tanpa
henti menjadi “sapi perah” ekonomi bagi kepentingan kekuasaan dan birokrat.
Tak heran
bila di tahun 1970-an muncul istilah cukong untuk menyebut orang-orang
Indonesia keturunan Tionghoa kaya raya yang sering bertindak sebagai “kasir”
bagi kepentingan aparat dan birokrat. Oleh karena itu, tak terlalu mengherankan
kalau di kemudian hari-terutama karena proteksi dan hak-hak monopoli
perdagangan-warga minoritas Indonesia keturunan Tionghoa ini lalu menjadi
sungguh-sungguh terampil mengelola bisnis perdagangan. Hal ini memang sejak
dulu telah mendapat “restu” dari pemerintah kolonial Belanda; sebuah kebijakan
politik yang rupanya berlanjut terus dan makin massif di era pemerintahan Orde
Baru.
“Sedari
awal, kelompok minoritas Indonesia keturunan Tionghoa ini telah resmi diizinkan
bisa mencari nafkah secara bebas di dunia bisnis dan bahkan malah boleh menjadi
kaya juga…,” ungkap Lev. Ujung-ujungnya, lalu muncul berbagai mitos yang salah
tentang kelompok minoritas ini. Taruhlah itu anggapan umum di kalangan warga
mayoritas “pribumi”, yakni anggapan bahwa orang-orang Tionghoa ini sejak dari
sono-nya sudah pandai berdagang dan cari duit, serta tidak berbakat di bidang
lainnya, juga tidak mau bergaul dengan kelompok masyarakat lain, dan
seterusnya.
Padahal, di
balik semua itu, dalam kontrak dan persetujuan implisit yang dipaksakan
pemerintah kolonial Belanda terhadap kelompok minoritas ini selalu tersembunyi
satu persyaratan yang kurang lebih berbunyi begini: “Kalau ada apa-apa yang
terjadi, yang (harus) disalahkan adalah (kelompok) minoritas dan ini terjadi di
setiap wilayah koloni di mana-mana. Persyaratan itu hingga sekarang masih ada,”
ungkap Lev. Cap-cap jelek itu makin menjadi-jadi di era Orde Baru. Ada
perubahan signifikan atas semula yang disebut Republik Rakyat Tionghoa (RRT)
harus diubah menjadi Republik Rakyat Cina (RRC). Itu membawa konsekuensi
serius, karena kebijakan politik asimilasi lalu juga mengharuskan sebutan
“Tionghoa” harus diubah menjadi “Cina”, yang di sini tanpa keraguan sedikit pun
sangat bernuansa penghinaan atau merendahkan.
Begitu
kelompok minoritas ini semakin tertekan dan terisolasi, maka dengan mudah pula
rezim Orde Baru lalu bisa “menghidupkan” kembali sejumlah persyaratan kontrak
dulu antara kelompok minoritas ini dengan pemerintah kolonial Belanda. Dari
situasi inilah lalu muncul istilah cukong seperti dimaksudkan di atas. Rupanya
ada kesamaan cara pikir penguasa kolonial Belanda dengan penguasa Orde Baru;
mereka sama-sama ingin menjadikan warga Tionghoa ini sebagai warga minoritas
yang hidup di atas menara gading. Saat bersamaan mereka juga dijadikan kelompok
pebisnis profesional yang sewaktu-waktu harus bisa dimanfaatkan bagi
kepentingan penguasa.
Praktik
politik minoritas ini nyata-nyata bertujuan agar jangan sampai tercipta kelas
menengah “pribumi” yang potensial mengancam kekuasaan Orde Baru. Dengan
tergantungnya warga minoritas ini kepada penguasa dalam masalah jaminan
keamanan dan proteksi (dagang), maka kekuasaan bisa dengan mudah dimanfaatkan
bagi kepentingan kekuasaan seperti dengan adanya kewajiban “setoran”. Dengan
kata lain, para pedagang Tionghoa itu bisa diperas terus-menerus. Ini bisa
berlanjut terus, hanya apabila warga Tionghoa ini tetap hidup dalam kerangka
isolasi sosial dan jangan sampai terjun masuk ke dalam politik praktis dengan
menjadi politisi atau anggota parlemen.
Bila
akhirnya lalu muncul budaya suap, main uang di bawah meja, lagi-lagi kelompok
minoritas inilah yang akhirnya dipersalahkan oleh masyarakat. Mereka, katanya,
memang telah menjadi terbiasa dengan main sogok, paling tidak begitu cap yang
seakan-akan menuduh kelompok minoritas ini sebagai biang keladi tradisi budaya
korupsi. Amat jarang, misalnya, kita mau dengan jujur mengatakan bahwa
sesungguhnya para aparat dan pegawai birokrasi itulah yang sejatinya lebih mata
duitan, sehingga mau tak mau lalu memeras kelompok minoritas ini yang tengah
terjepit kepentingannya. Dari sinilah, mitos-mitos yang salah tentang
orang-orang Tionghoa itu semakin terkukuhkan lagi.
RANGKUMAN
hasil diskusi kelompok dalam seminar ini secara tegas menyimpulkan, semua mitos
tentang masyarakat Tionghoa di atas itu adalah tidak benar. Alih-alih selalu
berkutat pada persoalan ingin menjadikan kelompok minoritas ini sebagai
“sasaran tembak”, jauh lebih baik mau mengembangkan sikap positif. Sebaiknya
kita harus berani membedah peran penting yang pernah dilakukan sejumlah tokoh
orang Tionghoa-seperti Kapten John Lee-dalam sejarah pergerakan nasional
menurut proporsinya. Hal itu perlu dilakukan, tambah Mely Tan selaku ketua
panitia pengarah, karena kini justru tengah berlangsung hal-hal positif yang
mendukung proses terciptanya-katakanlah-”identitas” keindonesiaan kita sebagai
bangsa.
Proses itu
semakin mengkristal di kalangan anak-anak muda, di mana proses konvergensi
(pemusatan pandangan menuju satu arah yang sama) antarkawula muda-baik dari
kelompok pribumi maupun nonpribumi-semakin kencang. “Masyarakat perlu mendukung
proses itu agar proses pembentukan kesadaran baru menyangkut identitas diri
baru mereka semakin nyata. Itu penting, karena kalangan muda ini sekarang lebih
suka menyebut dirinya orang Indonesia tanpa disertai embel-embel apa pun,”
ungkap Mely di akhir seminar. Menurut dia, kalaupun orang lalu menuntut harus
ada “identitas” tambahan yang sifatnya lebih bisa menerangkan halnya,
katakanlah itu dari keturunan etnis mana dia berasal, hal itu haruslah hanya
merupakan tambahan saja. “Jadi tidak perlu ada pretensi politik apa pun di
sini,” tandasnya. Jelas, seruan seminar ini juga mengartikulasikan harapan
besar agar jangan ada lagi mitos-mitos dan persepsi salah tentang warga
Indonesia keturunan Tionghoa ini.